Romnus, Desa "Terlupakan" di Bagian Barat Tanimbar Oleh: Yanti Samangun - Wartawati Radar Maluku News
HARI INI, 30 Agustus 2023, hari yang tidak mungkin saya lupakan. Mengapa? Karena itulah hari dimana jiwa ke-Tanimbar-an saya untuk kesekian kalinya terkoyakkan. Bukan karena Tanimbar dihina atau diremehkan, tetapi karena distribusi pembangunan daerah yang nyata-nyata menganak-tirikan Romnus, sebuah desa di pulau terpencil bagian barat Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT). Desa ini biasa ditempuh oleh masyarakat dengan long boat sekira 3 jam dari Pelabuhan Batu Putih, barat Pulau Yamdena. Begini ceritanya.
Sekira pukul 09.00 WIT saya bersama rombongan Tim Relawan Boy Uwuratuw (RBU) di Kabupaten, dengan menumpang Kapal KC. Tutukratu merapat di bibir pantai Desa Romnus, Kecamatan Wuarlabobar, dalam rangka konsolidasi RBU yang mau melantik relawan desa-desa se-Kecamatan Wuarlabobar. Untungnya moda transportasi kami cukup nyaman dan cepat "membelah" lautan di pagi hari, walau sesekali ombak angin timur masih menghadang. Saya kebetulan ditugaskan untuk meliput dan memberitakan agenda RBU.
Saat kaki menjejak di tepian pantai, kesan pertama Romnus adalah desa yang tenang dan damai, layaknya desa-desa di Tanimbar. Geliat aktivitas masyarakat hampir tak terlihat, karena kaum lelaki umumnya telah berkebun atau mengurus rumput laut. Yang terlihat hanya beberapa ibu yang sibuk menjemur biji lontar, suatu hasil hutan yang biasa dihargai sekira Rp. 5000 per kilogram.
Memang, pada musim timur seperti sekarang ini, nelayan agak sulit melaut karena gelombang laut yang cukup tinggi. Sedangkan hasil kebun belum masuk masa panen. Olehnya itu, untuk menambah pundi-pundi uang, kegiatan mengumpulkan biji lontar menjadi profesi alternatif. Demikian ungkap ibu-ibu yang menceritakan aktivitas kaum lelaki saat ini.
Kaki saya kemudian melangkah mengikuti rombongan RBU ke rumah salah satu anggotanya. Sambil menikmati teh dan gorengan hasil kebun (singkong dan ubi), tiba-tiba telinga saya dikejutkan oleh suara seorang tokoh pemuda yang mengklaim dirinya sebagai pemuka masyarakat. Kebetulan ia juga seorang Caleg DPRD KKT 2024 dari salah satu partai politik. Ia pun menuturkan tentang problem yang dihadapi masyarakatnya beberapa tahun lalu, kelaparan!!!
Ingatanku cepat menangkap, peristiwa yang pernah dialami oleh masyarakat KKT yang hidup di pulau-pulau kecil saat kemarau panjang datang. Dia pun menuturkan kesulitan masyarakat kala itu, seperti menebang pohon lontar untuk mengambil patinya sebagai bahan makanan. Persis sagu, hanya kuantitas dan kualitasnya tentu berbeda. Perlu energi extra untuk mengolahnya. Hasilnya pun tak seberapa. Tapi demi kelangsungan hidup, hanya itu cara satu-satunya bertahan tanpa bantuan pemerintah daerah.
Sang caleg itu pun mengimbuh harapannya, agar pemimpin-pemimpin daerah bisa belajar dari peristiwa itu. Tidak sesekali menjadikan masyarakatnya sebagai komoditi politik saat momen kepentingan elektoral. Tetapi sesudah itu pandai mengingkari janji. Harapan itu pun direspon oleh Dokter Boy sebagai Bakal Calon Bupati. Tapi pikiran saya sudah terlanjur penasaran tentang kondisi riil masyarakat. Saya pun beranjak dan melangkah menyusuri jalan-jalan desa.
Kaki saya kemudian berhenti di papan nama sekolah dasar. Mata saya pun mengintip diam-diam ke kelas. Memang terdapat sekira 10 siswa di suatu kelas. Tapi sama sekali tidak ada gurunya. Dari kelas seberang, seorang guru pun muncul. Saya menyapanya, dan dia menyambut dengan senyum. Saya mulai mengeluarkan jurus, bertanya dan bertanya. Kesimpulannya, di sekolah itu terdapat 4 orang guru PNS dan beberapa guru P3K.
Setelah itu, saya kembali mengitari desa. Kurang dari 10 menit, saya kembali lagi ke sekolah tersebut. Ternyata sudah sepi. Rupanya siswa sudah dipulangkan. Saya sempat menengok jam tangan, jarumnya baru menunjukkan pukul 11.00 WIT. Tapi, ada 4 orang siswa berseragam SMP juga dihalaman sekolah. Saya bertanya kepada salah satunya, dia pun mengatakan bahwa ia dan teman-teman bersekolah juga disitu. Rupanya bangunan SD dimanfaatkan juga untuk pelajar SMP. Kebetulan ada seorang bapak yang baru saja pulang dari kebunnya. Sambil mengusap keringat, bapak itu menyapa saya. Saya membalas, diikuti dengan pertanyaan, berapa guru yang ada di SMP tersebut? Jawabnya hanya seorang guru PNS, yakni sang kepala sekolah. Sisanya hanya guru honorer. Pikiran saya pun langsung menyimpulkan: begitulah potret umum kondisi pendidikan dipelosok Tanimbar ini.
Kaki saya kemudian bergerak kembali ke posisi awal. Disana terdapat seorang pemuda dan dua orang pemudi desa. Seorang pemudi diantaranya mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpatti yang sedang menyusun skripsi. Grace namanya. Saya juga mendapat info dari mereka, bahwa di Desa Romnus terdapat 1 bangunan Puskesmas, namun sudah lama tidak ada perawat atau bidan yang mengelolanya. Praktis, urusan kesehatan masyarakat kembali ke kearifan lokal.
Pikiranku bertanya-tanya, bagaimana mungkin berharap pendidikan dan kesehatan maju ditengah keterbatasan infrastruktur sekaligus SDM-nya? Bagaimana pula berharap kualitas pendidikan dan SDM baik disaat infrastruktur transportasi demikian terbatas, terutama di musim gelombang laut mengganas seperti saat ini? Hasil akhirnya, desa-desa di pulau-pulau kecil seperti Romnus hanya bisa pasrah, bergantung pada kemurahan hati pendidik, perawat/bidan khususnya anak-anak desa sendiri yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi dan mau kembali ke desanya. Berharap perhatian pemerintah ibarat menjaring angin.
Maka kembali ke agenda saya diawal, memberitakan konsolidasi relawan Dokter Boy untuk menjadi Bupati KKT mendatang. Saya pun teringat kata-kata bijak dari Dokter Boy: "seorang dokter telah disumpah untuk tetap pada profesinya, melayani masyarakat. Maka dimanapun dia ditakdirkan untuk bekerja, naluri pelayan itu tetap ada dan melekat".
Sehingga, bagi seorang Dokter Boy yang bernaluri pelayan, potret Tanimbar diatas pasti tak terlupakan. Tapi bagi mereka yang bernaluri penguasa, inilah potret Tanimbar yang terlupakan. (*)
Belum Ada Komentar