KAPOLRI DAN KOMNAS PEREMPUAN DIMINTA MEMANTAU PERKEMBANGAN PENANGANAN KASUS DUGAAN KEKERASAN SEKSUAL BUPATI MALRA.
SuaraReformasi.Com.Langgur.Pemuda Katolik, Koimisariat Cabang Maluku Tenggara dalam sebuah konferensi persnya meminta perhatian serius Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit untuk memantau dan mengawal proses penyidikan di Polda Maluku terkait dengan kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Bupati Maluku, M.Tahir Hanubun.
Permintaan itu dikemukakan Pemuda Katolik setempat setelah menyikapi perkembangan kasus yang tengah ditangani Diskrimum Polda Maluku ini terkesan lemah dan berjalan ditempat.
"Pemuda Katolik Mendukung profesionalitas Polri dalam mengusut dugaan tindak Pidana Kekerasan Seksual tanpa upaya damai. Bahwa pemandangan kritis ini kami kemukakan terkait kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan M.Taher Hanubun, Bupati Maluku Tenggara, "Ujar Pjs Ketua Komisariat Cabang Malra Izaak Setitit, SA.g dan Sekretarisnya, Ronald Toatubun.AM.d dalam sebuah pernyataan sikap pada konferensi persnya di Langgur Sabtu (23/09/23).
Dalam beberapa pernyataan sikap Komisariat Cabang Maluku Tenggara, tidak hanya meminta perhatian Kapolri semata tetapi mereka Pemuda Katolik mendesak Komnas Perempuan segerah membuat laporan resmi kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir Joko Widodo tentang dugaan pelecehan seksual dan atau yang dilakukan bupati aktif Maluku Tenggara.
"Mendesak Komnas Perempuan segerah membuat laporan resmi kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir Joko Widodo tentang dugaan pelecehan seksual yang terjadi di kota Ambon, mengingat terduga pelaku saat ini adalah bupati aktif Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Mendesak dewan Adat Ur Siuw Lor Lim segerah mengambil peran aktif dalam upaya penyesuaian masalah Bupati Maluku Tenggara karena telah menjadi isu nasional yang berdampak tidak baik bagi nama baik daerah yang kita cintai bersama ini.
Pada tuntutan point' terakhir atau delapan butir pernyataan sikap Pemuda Katolik Komisariat Cabang Maluku Tenggara, dalam kajian mereka soal Budaya Adat Kei, terdapat beberapa pemikiran yang menjadi landasan untuk Pemuda Katolik menyikapinya.
*Dalam tatanan kehidupan masyarakat adat di kepulauan Kei, penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan berkiblat pada peristiwa perjalanan "Nen Dit Sekmas" seorang tokoh perempuan yang mempunyai peran besar dalam sejarah lahirnya hukum Adat Larvul.
Bupati Maluku Tenggara sebagai pencetus lahirnya peringatan hari Nen Dit Sekmas dianggapnya tidak dapat memelihara nilai-nilai luhur Nen Dit Sekmas karena saat ini beredar rekaman elektronik yang menunjukkan sikap tidak etis yang dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara, Bapak M Tahir Hanubun, ditambah dengan banyaknya pemberitaan dan media sosial yang menyorot kasus dugaan pelecehan seksual oleh terduga Bupati Maluku Tenggara, Bapak M Tahir Hanubun.
Pada point ini Pemuda Katolik sungguh sangat menyesal segala peristiwa yang telah terjadi berkenan dengan pemberitaan beredar selama dua Minggu terakhir ini tentang kasus dugaan kekerasan seksual. Pemuda Katolik sangat mendukung upaya dan langkah yang diambil oleh bapak Bupati, Tahir Hanubun dalam melestarikan adat dan budaya Kei dan menetapkan tanggal 7 September sebagai peringatan hari "Nen Dit Sekmas" namun dengan adanya kasus ini kami menganggap peringatan hari Nen Dit Sekmas telah ternodai karena Bapak M Tahir Hanubun sebagai anak Adat dan pemimpin daerah tidak memberikan teladan yang baik bagi seluruh masyarakat kabupaten Maluku Tenggara.
*Sebagai Kepala daerah dan juga anak Adat Kei, bupati Malra harusnya menjadi vuvu yab-yab (pelindung)dan tuur madoman (pemberi petunjuk dan teladan dalam kasus ini.
"Pemuda Katolik menyesali perbuatan yang dilakukan oleh Bupati Malra karena tidak mencerminkan sikap pemimpin dalam adat Kei yakni vuvu yab-yab dan tuur madoman.
*Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh terduga pelaku bupati aktif Kabupaten Maluku Tenggara, menjadi pelajaran dan pengingat bagi masyarakat Adat Kei tentang penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan seperti yang atur dalam hukum adat Larvul Ngabal pasal 6 tentang Moryain fo Mahiling dan Sasa Sorfit Hukum Hanilit Larvul Ngabal. Adapun Sasa Sorfit (tujuh lapis kesalahan) Hukum Hanilit, Hukum Larvul Ngabal melarang anak Adat untuk melakukan;
a. Sis af (mendesis, memanggil dengan melambaikan tangan ✋).
b. Kifuk mat ko (bermain mata).
c. Ngis kafir, temar u mur (mencubit, mencolek).
d. En a lebak, humak voan (memeluk, meraba, dan mencium).
Dalam keterkaitan kasus tersebut, menjadi catatan penting dalam konferensi pers itu adalah aspek hukum kasus pelecehan seksual, menurut hasil kajian ditemukan bahwa keluarga pelapor dan keluarga terlapor telah mencoba menyelesaikan permasalahan ini di luar mekanisme hukum yang berlaku.
Tindakan ini menurut Pemuda Katolik dengan jelas melanggar pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menyatakan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan di luar proses peradilan kecuali dalam kasus pelaku masih dibawah umur.
Pemuda Katolik meyakini bahwa penyelesaian di luar proses tuntutan dalam kasus dugaan kekerasan seksual ini telah merusak semangat Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan bisa menjadi contoh buruk yang dapat digunakan oleh individu dan atau kelompok untuk menghindari pertanggungjawaban hukum.
Selain itu penyelesaian perkara ini melalui jalur kekeluargaan, adat budaya dan agama dianggap bertentangan dengan subtansi UU TPKS.
Fokus utama dalam penerapan UU TPKS adalah memberikan perlindungan kepada korban, menjalankan proses peradilan yang adil, serta melakukan rehabilitasi terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya, sesuai Pasal 3 poin C dari Undang-undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. (***$)
Belum Ada Komentar