Lamdesar Timur, antara "Tradisi Bakar Batu" dan "Tiang Doa" di Utara Tanimbar. Oleh: Roy Jehu (Sekretaris Relawan Boy Uwuratuw - RBU)
RABU pagi, 6 September 2023, Kota Larat masih sepi. Mentari baru saja menampakkan wajahnya di ufuk timur. Tapi kami, rombongan Relawan Boy Uwuratuw (RBU) sudah bertolak menuju Desa Lamdesar Timur. Tujuannya mengikuti kebaktian syukuran HUT GPM ke 88 bersama Jemaat GPM Lamdesar Timur, sekaligus mengadakan pengobatan gratis bagi warga Jemaat.
Menumpang 3 mobil, rombongan kami menyusuri pesisir utara Pulau Larat dari ujung barat ke ujung timur. Saat arah perjalanan mulai berputar ke selatan, tandanya tak lama lagi kami akan tiba di Desa Lamdesar Timur. Demikian petunjuk dari google maps. Dan benar saja, sekira 5 menit kemudian, kami telah berada di beranda desa.
Pagi itu, suasana desa masih tampak lengang. Hanya beberapa warga yang terlihat di depan rumah. Rupanya yang lain sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kebaktian di gereja nanti. Sebelum mobil benar-benar berhenti, saya terhenyak dengan sepotong kalimat dari Dokter Boy: "Inilah Tiang Doa bagi Tanimbar di Ujung Timur". Kalimat yang sarat makna, tapi saat itu saya sendiri belum bisa menebak alasan dan maksudnya.
Begitu tiba di depan Pastori (rumah Pendeta), tampak beberapa warga sedang menyiapkan "bakar batu", suatu tradisi memasak makanan di dalam kolam batu yang telah dipanaskan (dibakar) terlebih dahulu.
Tentang tradisi tersebut, sudah jamak didengar. Tetapi menyaksikan langsung, seingat saya baru kali ini. Sungguh mengagumkan. Bukan tentang makanannya saja, tetapi spirit yang hendak diwariskan oleh tradisi tersebut.
Pertama, tentu mengkonsumsi makanan dari hasil "bakar batu" dijamin tidak mengandung bahan kimia berbahaya. Kedua, ada bentuk kerjasama (gotong-royong), yakni suatu pola hidup pembantingan tulang bersama untuk kepentingan bersama (istilah Bung Karno), yang kini agak sulit ditemui di wilayah-wilayah urban.
Kembali ke agenda perjalanan. Saat jarum jam menunjukkan pukul 10.00 WIT, dentangan lonceng 3x dibunyikan, tanda kebaktian dimulai. Yang menarik didalam kebaktian tersebut adalah hampir semua kelompok usia di dalam Jemaat menyuguhkan puji-pujian dan tarian di dalam kebaktian. Selain itu, semua warga mengenakan pakaian tradisional Tanimbar turut menambah keistimewaan kebhaktian. Benar-benar suatu nilai dan budaya yang wajib diwartakan. Semua warga Jemaat seolah hendak bersaksi bahwa hanya karena kasih Tuhan, GPM terus bertumbuh hingga usia 88 tahun. Dan berkat Tuhan jualah, Jemaat Lamdesar Timur terus hidup dalam damai dan sukacita.
Menyaksikan kekhusukan Jemaat Lamdesar Timur dalam kebaktian hari ini, membuat saya berdecak kagum. Dalam hati kecil saya bilang, Tanimbar beruntung memiliki warga-warga yang setia menjaga tradisi dan budaya yang terwariskan turun-temurun serta taat dan tekun dalam doa kepada Sang Khalik.
Dan ketika nalar mencoba menelaah lebih jauh, ternyata moment "Tradisi Bakar Batu" dan "Kebaktian Syukur" di Desa Lamdesar telah mengajarkan banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang wajib dilestarikan. Pertama, bahwa tradisi bakar batu telah mengokohkan kebersamaan jemaat Lamdesar Timur; dan Kedua, ketaatan beribadah sebagai warga jemaat yang terus bersyukur telah turut berkontribusi baik dalam konteks pengembangan gereja itu sendiri maupun bagi pembangunan Tanimbar.
Saya jadi teringat kata-kata Dokter Boy diawal perjalanan tadi, bahwa Lamdesar Timur adalah "Tiang Doa" bagi Tanimbar di ujung Timur. Bila Tiang Doa terus kokoh, maka Tanimbar akan terus diberkati. Amin....
Lamdesar Timur, 6 September 2023
Belum Ada Komentar