Komnas Perempuan RI Sikapi Kasus Bupati Malra, Pelecehan Seksual

Komnas Perempuan RI Sikapi Kasus Bupati Malra, Pelecehan Seksual

Suara reformasi.Com.Ambon.Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara M Thaher Hanubun terhadap korban TSA (21) tahun mendapat perhatian serius Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Republik Indonesia.

Melalui Wakil Ketua Komnas Perempuan RI, Dra Olivia Latuconsina, MP, dirinya menjelaskan bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik atau tokoh publik sama sekali tidak dibenarkan.

Dikatakan, UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ditujukan bagi setiap orang dan korporasi tanpa terkecuali.

“Substansinya adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberdayaan kekerasan seksual,”jelas Salampessy yang dihubungi media ini, Sabtu (2/9/2023) seraya menambahkan, terdapat pemberatan atau penambahan 1/3 hukuman pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) huruf c.

Dirinya menegaskan, kasus ini harus dikawal sebab kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik atau tokoh publik tidak dibenarkan.

Pasalnya, pelaku dapat menggunakan jaringan dan kuasanya untuk mempengaruhi akses keadilan korban dan pandangan aparat penegak hukum dan masyarakat bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah kekerasan seksual.

Dampaknya, kata mantan Wakil Walikota Ambon ini bahwa terjadi impunitas terhadap pejabat publik atau tokoh publik tersebut, sementara korban kekerasan seksual tidak terpenuhi hak atas keadilan dan kebenaran serta pemulihannya.

“Oleh sebab itu untuk mencegah hal ini terjadi UU TPKS harus diterapkan,”tegasnya.

Tidak Dibenarkan Gunakan Jalur Restorative Justice

Ketika ditanya jika nantinya korban menarik laporan polisi dengan alasan menyelesaikan secara kekeluargaan, Wakil Ketua Komnas Perempuan RI ini menegaskan bahwa untuk kasus kekerasan seksual tidak dibenarkan diselesaikan melalui jalur restorative justice, proses hukum tetap dilakukan.

Karena menurut Ovie sapaan akrab Salampessy, selain kurang bisa melindungi korban, ini akan mengakibatkan munculnya pemikiran atau anggapan bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan hanya ganti rugi dan pelaku kembali bebas, dan korban tidak mendapatkan pemulihan

“Sekali lagi, kasus kekerasan seksual tidak dibenarkan diselesaikan dengan jalur restorative justice,”tutup Salampessy.

Untuk diketahui, restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula.

Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.

Arti restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait.

Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Seperti diberitakan media ini sebelumnya, Bupati Maluku Tenggara M Thaher Hanubun secara resmi dilaporkan ke pihak Reskrimsus Polda Maluku terkait dugaan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan berinisial TSA (21) tahun.

Dalam tanda bukti lapor yang ditandatangani Kepala Siaga Shif 1 SPKT Banum Min Brigpol La O.

Sumber : http://suarareformasi.com/komnas-perempuan-ri-sikapi-kasus-bupati-malra-pelecehan-seksual-detail-449839